23.3.09

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid

Pentingnya Belajar Ilmu Tauhid

Judul: Aqidah Ahlusunnah Waljamaah; Terjemah & Syarh Aqidah al-Awam

Penulis: KH Muhyidin Abdushomad

Pengantar: KH Agoes Ali Ali Masyhuri

Penerbit: Khalista, Surabaya

Cetakan: I, Januari 2009Tebal: 72 halaman

Peresensi: Noviana Herliyanti


Beberapa hari lalu, Islamic Center, Cirebon, Jawa Barat, memberikan sebuah pernyataan bahwa acara peringatan Haul Sayyidina Husein atau peringatan hari wafatnya Cucu Nabi Muhammad telah bertentangan dengan akidah umat Islam. Padahal, tradisi seperti ini, telah menjadi bagian amaliah umat Islam Indonesia khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU). Tahlil, istighosah, haul (peringatan wafat), pembacaan Maulid diba’ dan barzanji merupakan hal yang dianjurkan ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Karena amaliah ini, telah mengandung nilai-nilai kebaikan guna untuk mendekatkan diri pada Allah dan menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada Nabi Muhammad.


Buku berjudul Aqidah Ahlussunnah Waljamaah, Terjemah dan Syarh Aqidatul Awam ini, juga merupakan jawaban tak langsung yang terus dipertanyakan orang-orang yang selalu ingin merusak keyakinan amaliah warga NU. Dari sinilah besarnya mamfaat belajar ilmu tauhid untuk membentengi diri, dari segala sesuatu, baik berupa gerakan maupun ajaran baru yang hanya bertujuan merusak ajaran-ajaran yang telah diwariskan Nabi Muhammad.


Sungguh luar biasa. Kiai Muhyidin Abdusshomad, adalah kiai yang paling produktif menulis khususnya di kalangan warga NU. Selain menulis buku, ia juga menulis di beberapa media, baik lokal maupun nasional. Orangnya sederhana, gaya tulisannya mengalir, mudah dipahami, khususnya masyarakat awam yang tinggal di pedesaan. Selain sebagai penulis buku, ia juga sebagai pengasuh pesantren Nurul Islam, Jember, dan saat ini juga sebagai Ketua Pengurus Cabang NU Jember. Walaupun tak bermodal gelar kesarjanaan dari berbagai universitas, tapi tak pernah membuatnya berhenti untuk terus menghasilkan buku-buku NU, sebagai sumbangsih untuk melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Kehidupan Kiai Muhyidin tak pernah lepas dari pengabdian untuk masyarakat, pesantren dan NU baik melalui tulisan maupun ceramah.


Adapun beberapa karyanya yang saat ini sudah terbit seperti, Fiqih Tradisonalis; Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Tahlil Dalam Persfektif Al-Quran dan As-Sunnah (Kajian Kitab Kuning), Penuntun Qolbu Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul di tengah Gelombang Perubahan (Kajian Kitab Kuning), Hujjah NU; Akidah Amaliah Tradisi. Dan yang baru terbit ini adalah, Aqidah Ahlussunnah Waljamaah (Terjemah dan Syarh Aqidah al-Awam).


Aqidatul Awam merupakan salah satu kitab yang diajarkan di setiap pondok pesantren, baik pesantren kecil maupun pesantren yang sudah besar. Materinya berbentuk syair atau nazham yang dikarang Sayyid al-Marzuqi. Bait-bait syairnya senantiasa dilantunkan kalangan santri untuk dijadikan zikir, baik menjelang terlaksananya salat berjamaah maupun memulai sebuah pengajian kitab itu sendiri. Untuk mempermudah memahami, baik kalangan santri maupun ustaz, Kiai Muhyidin Abdusshomad berupaya menerjemahkan dan menjelaskan secara rinci yang sebagian dikutip dari berbagai kitab ke dalam bahasa Indonesia.


Buku ini adalah sebuah kitab kecil yang berisikan pokok-pokok keyakinan ajaran Islam yang dijadikan sebagai pijakan bagi kaum nahdliyin. Di dalamnya menjelaskan tentang ilmu tauhid dan dasar-dasarnya. Ilmu tauhid ini menjelaskan tentang keesaan Allah dan pembuktiannya. Juga buku ini menjelaskan sifat-sifat Allah, atau yang disebut 'aqoid lima puluh.


Aqoid lima puluh itu terdiri dari, 20 sifat yang wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, 1 sifat jaiz bagi Allah, serta 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat mustahil bagi rasul dan 1 sifat jaiz bagi rasul. Semua merupakan isi dari ajaran yang terangkum dalam Aqidatul Awam.


Kewajiban mengetahui 50 keyakinan tersebut diperuntukkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan yang telah mukallaf. Kewajiban mengetahui 50 kayakinan tersebut tak hanya untuk diketahui tapi juga dimengerti, sehingga umat Islam bisa mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat, yang hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar.


Lewat buku yang cukup praktis inilah, Kiai Muhyidin mampu menjawab segala permasalahan-permasalahan yang selalu ingin merubah tradisi atau amaliah yang selama ini dilakukan umat Islam, khususnya warga nahdliyin. Kehadiran buku ini juga sebagai penguat dari buku-buku sebelumnya. Bahasanya mudah, bisa dibaca kalangan mana pun, terutama bagi pembaca yang ingin memahami ilmu tauhid.


Perensi adalah Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur

6.1.09

Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi


Jawaban Praktis Amaliah Warga NU


Judul Buku: Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi


Penulis: KH Muhyidin Abdusshomad


Editor: Muhammad Faishol, MAg


Penerbit: Khalista Surabaya


Cetakan: I, Juni 2008


Tebal: xii+ 121 halaman


KH Muhyidin Abdusshomad adalah sosok kiai, yang dikatatan paling produktif, khususnya di kalangan warga NU. Saat ini ada beberapa karyanya yang sudah banyak beredar di seluruh pelosok Tanah Air. Di antaranya, Fiqh Tradisionalis, Tahlil Dalam Persfektif Al-Quran dan As-Sunnah, Penuntun Qolbu: Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul di Tengah Perubahan (Kajian Kitab Kuning), dan Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi.


Buku yang disebut terakhir ditulisnya sebagai sebuah tinjauan ulang dan jawaban praktis terhadap apa yang terkandung dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) secara baik dan sempurna. Karena saat ini, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja kadang kala disalahtafsirkan. Belum lagi banyaknya organisasi kemasyarakatan Islam yang semua mengaku berhaluan Aswaja. Padahal, gagasan dan pandangan mereka seringkali menyimpang dari nilai-nilai dan konsep Aswaja sendiri.


Dalam catatan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas yang bertujuan melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja. Arti Aswaja, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, Aswaja adalah orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Al-Quran, Al-Hadits, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. Latar belakang tersebut, paham Aswaja tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Hadits sebagai dasar dari setiap diskursus keagamaan yang dilakukannya.


Tetapi, menurut pandangan NU, bukan berarti Aswaja dan "ber-mazhab", kita diharuskan langsung untuk memahami dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits, tanpa mempertimbangkan bagaimana zaman yang selalu berubah. Bagaimana cara menghukumi sesuatu yang tidak ada dalilnya yang sharih (jelas) di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Dan, masalah-masalah sosial lainnya, yang juga tidak pernah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits.


Tradisi dan Budaya


Adapun salah satu ciri paling mendasar dari konsep Aswaja adalah, moderat (tawasuth). Konsep ini tidak hanya mampu menjaga para pengikut Aswaja tidak terjerumus pada perilaku keagaamaan yang ekstrim, berdakwah secara destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan masyarakat secara proporsional.


Dalam kehidupan, tidak bisa dipisahkan dari yang namanya budaya. Karena budaya adalah, kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah disebutkan dalam sebuah kaidah "al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah", yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.


Dalam buku ini, KH Muhyidin Abdusshomad juga menjelaskan seputar persoalan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah). Karena saat ini, banyak ormas Islam yang mengaku pengikut Aswaja tidak paham mana yang dikatakan bid'ah atau sebaliknya. Contoh, terbitnya buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali", karya Ustad Mahrus Ali yang mengaku mantan kiai NU. Padahal, dia tidak pernah tercatat bahkan menjadi anggota NU.


Dengan demikian, ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Aswaja ternyata tidak ada yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam. Meskipun juga, terkadang kelompok lain memandang bahwa selametan atau tingkepan yang kata orang Madura "peret kandung" (seorang wanita tengah mengandung 7 bulan sebagai bid'ah). Nah, tradisi ini, harus disikapi secara proporsional, arif, dan bijaksana, khususnya bagi para pengikut Aswaja. Karena, dalam selametan dan tradisi-tardisi lainnya yang dianggap bid'ah masih ada nilai-nilai baiknya dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut tidak harus dihilangkan dan dilarang.


Semoga gagasan dan pandangan KH Muhyidin Abdusshomad dalam buku ini mampu menghadirkan Islam yang toleran, damai, dan menghormati setiap hak manusia. Bukan Islam yang berperilaku seperti "preman berjubah" yang berteriak-teriak "Allahu Akbar" sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang yang tujuannya menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat.Praktis, buku ini penting untuk dibaca dan dimiliki umat Islam, khususnya warga NU. Karena buku ini menjadi bahan pegangan untuk memantapkan bagaimana warga NU mampu melestarikan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Aswaja dengan baik dan sempurna.

Fikih Keseharian Gusmus


Respon Atas Problematika UmatFikih

Penulis : KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gusmus)

Selama ini berita yang masih aktual, dan masih menjadi sorotan media massa adalah peristiwa tentang perselisihan dan perdebatan dalam pemikiran masalah-masalah keagamaan atau fiqh, yang dalam istilah NU disebut forum “Bahtsul Masail”. Bahtsul masail ini merupakan salah satu forum diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul dalam kehidupan masyarakat. KH Sahal Mahfudz, Pengurus Syuriyah PBNU menyebutnya bahwa forum “Bahtsul Masail” merupakan forum yang dinamis dan demokratis, selalu mengikuti perkembangan, dan trend hukum yang terjadi di masyarakat.
Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini? K.H.A. Musthofa Bisri yang panggilan akrabnya Gus Mus sudah tidak asing lagi bagi semua kalangan, ia adalah seorang kiai, pelukis, penyair, dan budayawan yang karya-karyanya selalu melambung di media massa baik lokal maupun nasional. Setelah pasca Buya Hamkah, Ali Hasjmi, dan Bahrum Rangkuti, umat Islam Indonesia sangat miskin melahirkan ulama yang dikatakan seniman dan sastrawan. Mungkin tidak banyak yang tahu, jika Gus Mus disamping sebagai sastrawan juga seorang pelukis.
Meskipun sebagai budayawan, penyair, dan pengasuh pondok pesantren, namun pemikiran dan gagasan-gagasan yang diusungnya mampu menandingi, bahkan melebihi wacana-wacana yang diusung oleh para ilmuwan, dan cendikiawan. Jadi tidak semua masyarakat pesantren hanya dianggap sebagai kaum sarungan yang pemikiran dan gagasannya hanya terpaku pada teks klasik saja, melainkan mampu menyesuaikan dengan realitas sosial yang terjadi saat ini.
Dan pada ahir-ahir ini masyarakat pesantren selalu eksis dimana-mana, dan mulai banyak mengaktualisasikan pemikiran, dan gagasannya yang dapat memasung daya kritis seorang santri, sehingga masyarakat pesantren bisa dikatakan seorang yang produktif, dan kritis.
Rois Syuria Nahdhatul Ulama (PB.NU) ini, tidaklah membuat beliau menjadi orang yang rakus terhadap kekuasaan dan memanfaatkan jabatannya. Namun beliau adalah orang yang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang sifatnya politis, dan pragmatis. Seperti yang disampaikan dalam tausiyahnya dalam munas alim ulama di Sokolilo kemarin, bahwa persoalan politik di Indonesia sangatlah pelik, dan berengsek sekali, tidak didasari dengan etika-etika politik yang ada.
Kiprah Gus Mus di panggung politik bermula mendapat tawaran dalam bursa pencalonan sebagai anggota legislatif PPP preode 1977-1982 mewakili wilayah Rembang-Blora. Namun meskipun ia mendapat sebuah tawaran yang menggiurkan dan menjanjikan Gus Mus menolaknya. Karena ia merasa belum berpenglaman dan juga belum mempunyai andil di partai.
Buku setebal 525 halaman ini, memang benar-benar hasil garapan kreatif seorang kiai dan budayawan, yang didalamnya mengulas tentang berbagai problematika kekinian, dengan tanpa meninggalkan keotentikan dan nilai historisitas teks klasik (kitab kuning).
Adapun pemikiran-pemikiran yang ia usung selama ini, memang benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan, dan memperluas ilmunya untuk mengabdi pada masyarakat. Bagaimana masyarakat bisa mengerti, dan paham terhadap hukum fiqh pada umumnya.
Dengan ketajaman analisis inilah, Gus Mus tidak hanya mampu menawarkan jawaban-jawaban dari bermacam problem yang datang padanya secara normatif. Melainkan ia berhasil memberikan kerangka nuansa pemikiran untuk mengatasi masalah-masalah keagamaan keseharian kita secara rinci dan terurai secara rapi.
Dan perlu dicatat, bahwa penjelasan atau jawaban-jawaban yang ia berikan semata-mata penjelasan apa adanya yang dirangkai dengan dalil-dalilnya. Sehingga jawaban-jawaban beliau tidak begitu saja mengatakan ini haram dan itu halal, ini wajib dan itu sunnah.
Selain itu juga, dalam bab akhir Gus Mus dengan sangat gamblang memaparkan berbagai persoalan-persoalan budaya kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Seperti dalam bab VIII halaman 520, ada seorang penanya mengutarakan kegundahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu, berkenaan dengan maraknya gambar-gambar panas (porno), dan melakukan onani.
Di saat memberikan jawaban atas pertanyaan ini, Gus Mus menentukan haram tidaknya melihat gambar porno dan melakukan onani, yaitu mengikuti pendapat para ulama. Karena pendapat para ulama sudah sepakat, melihat gambar-gambar panas (porno), dan melakukakan onani hukumnya haram. Karena manfaat dan mudharatnya yang jelas lebih banyak madaratnya. Dan perbuatan tersebut, telah dilarang oleh agama, dan dapat merusak moral para generasi muda pada umumnya. Perbuatan yang dilarang oleh agama.

Aswaja An-Nahdliyah


Memahami Aswaja ala NU
Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama

Penulis: Masyhudi Muchtar, dkk. (Tim LTNNU Jatim)

Pengantar: Dr KH Ali Maschan Moesa, M.Si

Penerbit: Khalista Surabaya

Cetakan: I, Maret 2007

Tebal: vii+56 hal

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai jam'iyah diniyah al-ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan). Jamiyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya, yang di dalamnya memiliki konsep dan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Seperti telah kita ketahui dan ditelusuri secara historis, Aswaja versi NU, pertama kali didirikan oleh kelompok “Taswirul al-Afkar" (potret pemikiran) yang salah satu tokohnya KH Wahab Hasbullah. Dalam "Qonun Asasi" NU telah dijelaskan bahwa, KH Hasyim Asy'ari tidak menjelaskan secara eksplisit definisi Aswaja sebagaimana yang dipahami oleh nahdliyin (sebutan untuk warga NU) saat ini.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi dalam bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Sementara, menurut KH Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Aswaja dicoba diteliti dan ditinjau ulang oleh beberapa ulama seperti KH Said Aqil Siradj yang menginginkan definisi Aswaja sedikit didekontruksi pada aspek-aspek tertentu. Dengan tujuan agar Aswaja yang eksklusif dapat menjadi inklusif.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah warga nahdliyin mampu memahami secara mendalam apa itu Aswaja? Dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam tataran akademis-keilmuan? Dan apakah mempunyai implikasi yang cukup signifikan pada cara berpikir ulama dan intelektual warga NU?
Dalam buku kecil, praktis, dan sederhana ini, pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab. Mulai dari masalah-masalah bagaimana warga NU dalam melakukan amal ibadah ubudiyah (secara vertikal kepada Allah) dan ibadah muamalah (secara horisontal dalam hubungannya antarsesama warga nahdliyin). Semuanya disajikan dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dipahami khususnya masyarakat awam.
Buku "Aswaja An-Nahdliyah" ini, sengaja dijelaskan dalam bab-perbab. Bab pertama Mukaddimah. Bab kedua, mengulas sumber ajaran An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi madzhab qauli, madzhab manhaji, dan pengembangan asas ijtihad madzhabi. Bab ketiga, menerangkan akidah Aswaja An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi konsep Akidah Asy'ariyah, konsep Akidah Maturidiyah. Bab keempat, mengulas Syariat Aswaja An-Nahdliyah yang meliputi, kenapa harus Empat Mazdhab. Bab kelima, mengulas masalah Tasawuf Aswaja An-Nadliyah. Bab keenam, menerangkan tradisi dan budaya yang di dalamnya meliputi landasan dasar tradisi, dan sikap terhadap tradisi.
Sedangkan bab ketujuh, kemasyarakatan yang di dalamnya meliputi Mabadi' Khaira Ummah dan Maslahatul Ummah. Mabadi' Khairah Ummah ini, juga meliputi Al-Shidqu, Al-Amanah wa al-Wafa bi al-Ahdi, Al-Adalah, Al-Ta'awun dan Al-Istiqamah. Maslahatul Ummah, meliputi penguatan ekonomi, pendidikan dan pelayanan sosial. Bab kedelapan, menerangkan kebangsaan dan bab terakhir penutup (khatimah).
Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (hal. 51-52).
Dari empat konsep Aswaja di atas, ada pokok yang paling ditekankan bagaimana konsep Aswaja bisa diaplikasikan dengan baik oleh warga NU. Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Buku ini penting dan menarik untuk dimiliki, dibaca, oleh warga NU supaya paham dan mengerti secara mendalam apa itu Aswaja. Aswaja tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga nahdliyin mampu mengaplikasinnya dengan baik dan sempurna.

17.12.08

ANTOLOGI NU


Ensiklopedi Praktis Warga NUAntologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
Harga Rp 50.000,-
Penulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos, Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007Tebal: xviii + 322 halaman, Peresensi: M. Abdul Hady JM
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Sebagai organisasi keagamaan, NU telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama (pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar. Buku "Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" ini mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.
Pada awal berdirinya, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah " murni (independen). Ia bukan organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri.
Pada tahun-tahun awal berdirinya, yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.
Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri, setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di luar Negeri (hal. 18-20).
NU terus menapaki lorong-lorong terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru. Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka macam tuduhan.
Pada dasawarsa 1980-an terjadi perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai organisasi keagamaan (jam'iyah diniyah).
Pada masa ini, NU mulai lebih mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).
Sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah. Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.
Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU. Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid'ah. Sekadar disebutkan misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur. Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.
Pada bab terakhir, yaitu bab IV pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU. Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini, setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting (uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab, kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.Menariknya, dalam buku ini juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa, kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh yang dipaparkan dalam buku ini